Latest Posts

PENDIDIKAN INTEGRITAS SEBAGAI PARADIGMA BARU DAN UPAYA UNTUK MENEGAKKAN KODE ETIK PROFESI POLRI

By 7:23:00 AM , , , ,

A. Latar Belakang
Integritas bukan kata atau istilah Indonesia, tetapi berasal dari bahasa inggris yang berarti “the quality of being honest and of always having high moral principles”. Yang pasti integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang luhur dan berbudi. Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME. Integritas tidak hanya berlaku pada segala atau semua bidang kehidupan, misalnya bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, dll.[1] Saya menuntut adanya pendidikan integritas di tubuh Polri, karena dewasa ini didorong oleh kebutuhan tugas Polri yang disikapi sebagai bagian dari proses adaptasi terhadap pemaknaan jati diri Polri, reaktualisasi atas kedudukan, fungsi dan perannya serta tuntutan reformasi Polri. Maka dari itu Pendidikan Integritas muncul sebagai suatu kebutuhan terhadap tantangan tugas yang dihadapi, sebab tanpa prinsip dasar integritas tidaklah mungkin tercapai tingkat efektifitas yang tinggi untuk menegakkan kode etik profesi Polri.
Pendidikan integritas terhadap Polri adalah sebagai paradigma baru dan sebagai upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi, afeksi dan konasinya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas) di tubuh Polri.
Karena yang menjadi permasalahan di tubuh Polri dewasa ini adalah integritas moral belumlah melembaga  di tubuh Polri. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas misalnya, selama beberapa tahun terakhir ini, terutama tahun 2003-2005, dan tahun 2009. Pada tahun 2003-2005 misalnya, seolah membenarkan bahwa citra Polri di mata masyarakat memang belum begitu baik. Sekalipun secara umum hasil jajak pendapat Kompas tahun 2005 memperlihatkan bahwa citra Polri pada usianya yang ke-60 tahun menunjukkan peningkatan yang kian positif (51%) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 40%, namun dalam hal penegakan supremasi hukum tampaknya citra Polri masih terpuruk di mata masyarakat. Dalam pengusutan kasus-kasus korupsi, misalnya, tercatat sekitar 73,8% responden masih memendam kekecewaan terhadap kinerja Polri karena kekurangtegasannya dalam mengungkap dan memproses kasus korupsi.[2]
Dilanjutkan dalam jejak pendapat Kompas, pada 30 November 2009 dapat dibaca bahwa, prosentase rakyat tidak puas terhadap Polri 76,2%.[3] Sementara dalam koran Tempo 19 Mei 2010 menjelaskan bahwa, “PPATK Curiga Terhadap Puluhan Rekening Polisi”, karena banyak rekening yang mencurigakan, misalnya ada yang memiliki rekening senilai Rp. 95 miliar karena dinilai tidak sebanding dengan penghasilan.[4] Pelanggaran kode etik profesi Polri itu juga tampak dalam penanganan kasus-kasus HAM yang dinilai cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat salah satunya dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di kasus PT Freeport, Mesuji dan Bima.
Berita-berita yang bersifat negatif itu muncul akibat adanya beberapa perilaku pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap masyarakat berupa perilaku tidak menyenangkan dan mengecewakan. Perilaku demikian dapat menimbulkan sikap sinis masyarakat terhadap institusi kepolisian. Padahal penyimpangan hanya dilakukan oleh segelintir oknum polisi yang tidak bertanggung jawab, namun secara tidak langsung dapat mencoreng wajah instisusi kepolisian.[5]
Guna menetapkan strategi yang tepat dalam menegakkan kode etik profesi Polri dan merupakan sesuatu yang urgen dan relevan untuk segera dilakukan. Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah  “Pendidikan Integritas Sebagai Paradigma Baru Dan Upaya Untuk Menegakkan Kode Etik Profesi Polri”.

B. Kode Etik Profesi Polri dalam Menjalankan Kewenanganya Melindungi, Mengayomi
     dan Melayani  Masyarakat
Secara yuridis Polri secara kelembagaan telah diatur dalam konstitusi dan berbagai produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, misalnya, secara tegas mengatur bahwa “Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.[6] Selanjutnya untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya, maka kepada Polri telah diberikan status kemandiriannya berdasarkaaan TAP MPR No VI/MPR/ tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/ tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. serta Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin anggota Polri, Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/97/II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Divpropam Polri, Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri No. Pol. : 8 tahun tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi dengan banyaknya aturan yang mengikat Polri tersebut tidaklah menjamin tegakkanya integritas dan tumbuhnya jiwa profesional dalam diri sebagian anggotanya. Dalam posisi demikian adalah sangat penting untuk segera dilakukan pendidikan integritas terhadap Polri.
Ketika melihat kebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut Suttherland, kewenangan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan.[7]
Secara umum pemetaan masalah-masalah yang timbul akibat integritas belumlah melembaga  di tubuh Polri sehingga muncul berbagai penyalahgunaan kewenangan, misalnya sebagai berikut :[8]

Berbagai Permasalahan Akibat Integritas Belum Melembaga Di Tubuh Polri
 




 



































Sumber : Suryama M. Sastra, Meningkatkan Kontrol Terhadap Polri Dalam Masa Transisi, Seminar Police
      Accountability in Democratic Transitions, Jakarta, September 3rd, 2007

Penilaian melalui pemetaan permasalahan Polri di atas dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang apa yang secara faktual telah dilakukan Polisi, tidak sekedar mengerti landasan normatif tugas mereka. Dengan demikian kualitas kinerja Polri amat ditentukan oleh integritas.
Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik- praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi.[9]





C.  Pendidikan Integritas Sebagai Paradigma Baru dan Upaya Untuk Menegakkan
      Kode Etik Profesi Polri
Paradigma kepolisian sesungguhnya memiliki dimensi yang luas. Dimensi pertama adalah sifat universalitas dari pendekatan pemolisian. Dasar universal pemolisian modern adalah penghargaan pada hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal itu, E. Hochstedler (1981) menyusun paradigma kepolisian dalam empat model, yaitu:[10] Avoider Police, paradigma kepolisian yang mengutamakan kekuasaan, mengabaikan layanan, kurang rasional, dan sebagai hantu bagi masyarakat. Supercop Police, paradigma kepolisian yang mendahulukan penindakan daripada pencegahan, bertindak represif, memilih-milih kasus, dan mengabaikan kejahatan non-konvensional, Service Ori Police, paradigma kepolisian yang mengutamakan perlindungan, pendekatan dialogis, bersikap persuasif terhadap masyarakat; dan Professional Police, paradigma kepolisian yang mengutamakan keterampilan, tindakan rasional dan orientasi pada proses. Paradigma kepolisian tersebut berkaitan dengan kadar kematangan masyarakat, hal ini menjadi standar pelembagaan organisasi kepolisian dalam sistem pemerintahan.
Namun yang menjadi kunci terciptanya penegakan hukum yang adil untuk Indonesia khususnya adalah terkait dengan dimilikinnya moral para penegak hukum yaitu melalui Pendidikan Integritas. Pendidikan integritas adalah pendidikan yang mengedepankan pembangunan karakter. Pendidikan seperti ini tidak hanya mengandalkan terori, tapi peserta pendidikan juga harus bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
 Karena memang integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang luhur dan berbudi. Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME. Integritas tidak hanya berlaku pada segala atau semua bidang kehidupan, misalnya bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, dll. Maka dari itu, strategi dan kebijakan untuk meningkatkan integritas Polri dibidang penegakan hukum, dapat diimplementasikan dalam bentuk program Pendidikan Integritas yang dapat dilaksanakan melalui :
1.      Memesukkan pendidikan integritas di institusi Polri dan di harapkan pelajaran integritas ini bisa diterapkan sehingga dapat mewujudkan efektifitas yang tinggi untuk menegakkan kode etik profesi penegak hukum dalam hal ini Polri. Pendidikan integritas ini merupakan salah satu upaya mencetak SDM Polri yang bermoral. Dalam proses belajar integritas ini, para anggota Polri akan dikenalkan dengan berbagai praktek-praktek penyimpangan misalnya KKN secara menyeluruh, maksutnya anggota Polri akan dikenalkan apa itu KKN, dampaknya, serta modus-modusnya. Mereka juga akan diterjunkan ke persidangan-persidangan KKN sehingga dengan demikian mereka akan mengenal hinanya KKN sehingga tidak mau melakukannya.
2.      Pelatihan atau kursus singkat bagi anggota Polri. Mata kuliah mandiri program studi, baik sebagai pilihan maupun wajib. pelajaran mandiri wajib bagi anggota Polri.
3.      Dengan cara menguji pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi), dan tindakan (psikomotorik) anggota Polri terkait dengan sejumlah masalah-masalah kejahatan.
Selain penerapan pendidikan integritas terhadap Polri diata, juga sangat penting untuk memperhatikan beberapa hal, misalnya :
1.      Proses seleksi yang diadakan untuk merekruit SDM Polri dilaksanakan seobyektif mungkin, bila perlu menggunakan jasa lembaga yang independen untuk menentukan seleksi dari calon polisi, dengan menggunakan standar yang tinggi dan ketat dan pelaksanaan proses seleksi yang jujur.
2.      Pembangunan kekuatan Polri menuju Polri yang modern dan profesional diarahkan pada 2 (dua) jenis penampilan yaitu polisi berseragam (uniform police) dan polisi tidak berseragam (Ununiform police / Plain Cloth Police), Polisi berseragam diarahkan pada tantangan tugas yang bersifat pelayanan, pencegahan dan penertiban sedangkan Polisi tidak berseragam diarahkan pada tantangan tugas penyidikan dan penyelidikan.[11]
3.      dalam rangka meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan, Polri harus dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance, seperti  prinsip  keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas (accountability). Pentingnya akuntabilitas polisi dalam negara demokrasi telah disepakati oleh para pakar dalam berbagai tulisan mereka sebagaimana dinyatakan oleh Bent, A.E. (1974) dalam tulisannya berjudul Police Accountability: Dilemmas of democratic control dalam buku The Politics of Law Enforcement: “... tanpa adanya mekanisme akuntabilitas, polisi dapat digunakan untuk melakukan penindasan, atau berperilaku anti sosial dan ilegal untuk tujuan polisi sendiri...”[12]
4.      Perbaikan-perbaikan sistem promosi Polri, pendidikan dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.
5.      peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagai bagian dari upaya penegakan supremasi hukum, secara kelembagaan posisi kepolisian dan kejaksaan yang belum mandiri menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan berkeadilan.
Kearah paradigma baru inilah Polri harus dibawa dan diposisikan guna dapat mengemban tugas pokoknya secara lebih baik sebab hanya dengan demikian Polri akan memperoleh kredibilitas, legalitas, akuntanbilitas dan wibawanya sehingga senantiasa, akan dekat dan dapat dipercaya oleh rakyatnya.

D. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      pemberitaan negatif tentang Polri tersebut hampir merata di semua bidang tugas dan wewenangnya, termasuk dalam praktik penegakan hukum hal itu dikarenakan  integritas belumlah melembaga di tubuh Polri.
2.      Permasalahan yang kompleks di tubuh Polri, bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik- praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi.
3.      Strategi dan kebijakan yang tepat untuk menegakkan kode etik profesi Polri, yaitu dapat diimplementasikan dalam bentuk program Pendidikan Integritas sebagai paradigma baru dan upaya untuk menegakkan kode etik profesi Polri.

Saran dan Rekomendasi
Dalam rangka meningkatkan integritas Polri dan profesionalisme Polri dibidang penegakan hukum :
1.      Perlu dirumuskan kembali ketentuan yang mengatur tentang Polri secara kelembagaan, pendidikan dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup. efektifitas penerapan reward and punishment system.
2.      Untuk menegakkan kode etik profesi polri juga harus dilakukan dengan kerjasama dengan warga masyarakat.


Daftar Pustaka
Agung Hendaryana, 2010, Memantapkan Profesionalisme Polri Dibidang Penegakan Hukum
Dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum, Tesis Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum.
J.E Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka, Jakarta.
Monograph No-4, 27 Januari 2005, Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan Dan Ketertiban
Masyarakat Serta Penegakan Hukum, Propatria Institute, Le’ Orchide, Blok A-1, Jl. Anggrek Cendrawasih No 5-7 Slipi, Jakarta 11480, Indonesia
Ronny Lihawa, 7 Agustus 2007, Akuntabilitas Politik dan Operasional POLRI, disajikan
dalam diskusi “Menyoal Kinerja POLRI”.
Sarlito Wirawan Sarwono, Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial dalam Merenungi Kritik
Terhadap Polri oleh Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995
Tika Primasiwi. 2011, Pembentukan Opini Publik Tentang Citra Polisi Sebagai Dampak
Berita Tindak Kriminal Polisi Di Media Massa, Summary Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang
Media Cetak
Drs. A. Kamil Razak, M.H., dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan
Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006
Sultani. 2006,  Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor, Artikel Harian Kompas,
03 Juli 2006.
Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006
Kompas, 30 November 2011
Tempo 19 Mei 2010.


[1] . J.E Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI), Hal. Xv-xvi.
[2] . Sultani. 2006,  Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor, Artikel Harian Kompas, 03 Juli 2006.
[3] . Kompas, 30 November 2011
[4] . Tempo 19 Mei 2010
[5] . Tika Primasiwi. 2011, Pembentukan Opini Publik Tentang Citra Polisi Sebagai Dampak Berita Tindak Kriminal Polisi Di Media Massa, Summary Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.
[6]. Tujuan dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU No.2 Th 2002). Dengan demikian Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU No.2 Th 2002).
[7] . Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 151-153.
[8] . Suryama M. Sastra, Meningkatkan Kontrol Terhadap Polri Dalam Masa Transisi, Seminar Police Accountability in Democratic Transitions, Jakarta, September 3rd, 2007

[9] . Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh AKBP. Drs. A. Kamil Razak, M.H., dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006.
[10] . Monograph No-4, 27 Januari 2005, Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Serta Penegakan Hukum, Propatria Institute, Le’ Orchide, Blok A-1, Jl. Anggrek Cendrawasih No 5-7 Slipi, Jakarta 11480, Indonesia.
[11]. Agung Hendaryana, 2010, Memantapkan Profesionalisme Polri Dibidang Penegakan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum, Tesis Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum.
[12] . Ronny Lihawa, 7 Agustus 2007, Akuntabilitas Politik dan Operasional POLRI, disajikan dalam diskusi “Menyoal Kinerja POLRI”.

You Might Also Like

0 comments