Latest Posts

KEBIJAKAN NETRALITAS KEANGGOTAAN PNS TERHADAP PARTAI POLITIK DITINJAU DARI ASPEK PELINDUNGAN HAM

By 9:30:00 PM




A. Latar Belakang
Dalam aspek hukum dan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi issue yang sangat kuat untuk direalisasikan. Hal ini karena birokrasi pemerintah Indonesia ditengarai telah memberikan kontribusi yang sangat besar atas terjadinya berbagai krisis tersebut. Birokrasi yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru telah menumbuhkan budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan dijadikan alat untuk mendukung pemenangan organisasi politik untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah pada saat itu, padahal birokrasi merupakan aktor utama  public services yang harus mengutamakan pelayanan yang adil kepada masyarakat. Oleh karena itu reformasi birokrasi diharapkan merupakan langkah-langkah koreksi terhadap kebijakan politik Pemerintah setelah Orde Baru.  
Salah satu langkah mendasar dari reformasi birokrasi, Pemerintah telah menetapkan  kebijakan baru dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari Pegawai Negeri, yang pada prinsipnya mengarahkan sikap politik PNS dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu menjadi netral atau tidak memihak, yang selanjutnya lazim disebut kebijakan netralitas politik PNS.  Kebijakan netralitas PNS tersebut dinyatakan secara tegas dengan memasukkan pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang pada Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan: (1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan. (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri  dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.[1]



Sementara itu sebagai langkah reformasi di bidang hukum secara fundamental, telah dilakukan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara bertahap dilakukan sebanyak empat kali yang berlangsung mulai tahun 1999 sampai dengan 2002. Pada perubahan ke-dua telah ditambahkan  Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri 10 (sepuluh) Pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Penambahan ketentuan ini memperkuat landasan konstitusional pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 mengenai HAM tersebut terdapat Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak  politik, antara lain:
1.      Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
2.      Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
3.      Pasal 28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Adapun mengenai pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28I  dan 28 J:
1.      Pasal 28 I: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak  untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
2.      Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
3.      kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada Masa Reformasi, pemerintahannya menganut sistem presidensiil, sistem kepartainnya menganut sistem partai banyak (multi party system) di mana rakyat diberi kesempatan membentuk partai politik dengan kriteria tertentu ; tetapi PNS dilarang menjadi anggota partai politik, pola pembinaan karier lebih jelas tetapi karier PNS masih ditentukan oleh pejabat politik yang berkedudukan sebagai pejabat pembina kepegawaian.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang diterapkannya kebijakan netralitas politik PNS?
2.      Bagaimana kebijakan netralitas politik PNS ditinjau dari aspek perlindungan hak asasi manusia di Indonesia ?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui latar belakang kebijakan netralitas politik PNS sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang pokok Kepegawaian.
2.      Untuk mengetahui kebijakan netralitas politik PNS ditinjau dari aspek perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Diterapkannya Kebijakan Netralitas Politik PNS
Dalam hal ini apabila kita ingin mengetahui latar belakang dan argumentasi hukum (ratio legis) dikeluarkannya suatu kebijakan dalam bentuk norma hukum, maka tidak cukup hanya menafsirkan pasal-pasalnya menurut tata bahasanya saja, tetapi juga perlu menggunakan penafsiran menurut sistem dengan meneliti sistematikanya dalam kaitan pasal satu dengan lainnya. Di samping itu juga perlu menggunakan penafsiran sejarah untuk mengetahui sejarah terbentuknya peraturan, latar belakang, maksud dan tujuannya, dan dapat diperluas dengan meneliti kapan dibentuknya dan sistem hukum apa yang dianut. Adapun penafsiran sosiologis  diperlukan untuk mengetahui situasi lingkungan baik politik, ekonomi, nilai-nilai sosial dan tuntutan masyarakat pada saat dibuatnya norma hukum.
Berdasarkan tinjauan historis, sebelum diterapkannya kebijakan netralitas PNS tersebut, posisi PNS dalam kegiatan politik telah diperdebatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik. Perdebatan yang alot terjadi antara anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan dengan anggota Fraksi lainnya, yang mengundang polemik di kalangan pemerhati dan pengamat hukum dan politik. Polemik tersebut berkaitan dengan kedudukan Golongan Karya yang pada waktu itu diubah status organisasinya menjadi Partai Politik, sejajar dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sehingga apabila larangan menjadi anggota parpol tersebut diterapkan dipastikan akan mengurangi perolehan suara Golkar yang selama masa Orde Baru didukung penuh oleh Pegawai Negeri Sipil.
Issu yang menjadi bahan perdebatan adalah bahwa kemungkinan larangan menjadi anggota partai politik tersebut akan melanggar hak politik Pegawai Negeri Sipil yang merupakan salah satu esensi dari hak asasi manusia. 
Pemberlakuan kebijakan netralitas dengan larangan menjadi anggota parpol pada masa Reformasi secara  normatif diawali dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik yang berlaku mulai 26 Januari 1999, yang tiga hari kemudian yaitu tanggal 29 Januari 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah 12 Tahun 1999.
Kekhawatiran bahwa keanggotaan PNS dalam parpol akan menyebabkan PNS menjadi terpecah belah dan mengganggu pelayanan kepada masyarakat, adalah kurang beralasan seiring dengan tingkat kedewasaan politik masyarakat khususnya kalangan PNS. Hal tersebut juga dapat diantisipasi dengan sistem pengawasan berupa persyaratan izin bagi PNS pemangku jabatan pimpinan (stuktural) yang akan menjadi angggota parpol, dan disertai ketentuan agar keanggotaan PNS dalam partai politik tersebut tidak menggangu tugas dan kedudukan PNS selaku pelayan masyarakat. Lagipula dalam catatan sejarah perjalanan birokrasi, tidak menggambarkan kondisi pelayanan birokrasi yang terbengkelai karena keanggotaan PNS dalam parpol.
Memang diakui berdasarkan sebuah survei terhadap pengguna pelayanan birokrasi menunjukkan kenyataan bahwa sebagian masyarakat mengalami diskriminasi oleh oknum aparat birokrasi dalam pelayanan. Pembedaan pelayanan tersebut diidentifikasi berdasarkan pada beberapa hal, antara lain karena factor status sosial ekonomi, kedekatan hubungan sosial, penampilan fisik, etnik, afiliasi politik, afiliasi sosial kemasyarakatan, dan tingkat intelektualitas masyarakat. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa adanya diskriminasi dalam pelayanan oleh oknum aparat birokrasi lebih banyak berdasarkan kedekatan pribadi atau kekerabatan (78% - 90%), dan tidak pernah memandang aliran politiknya. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada hubungan kausalitas antara keanggotaan PNS dalam parpol dengan sikap diskriminatif PNS dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat.[2]

Implikasi Ketidaknetralan PNS
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu yaitu: [3] Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.

B. kebijakan netralitas politik PNS ditinjau dari aspek perlindungan hak asasi manusia di  Indonesia
Keberadaan negara tidak dapat dilepaskan dari salah satu ide dasar dantujuannya, yaitu untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara. Oleh karena itulah, salah satu substansi yang harus ada dalam konstitusi negara yang demokratis adalah jaminan perlindungan dan penegakan HAM, yang sekaligus berfungsi sebagai pembatasan terhadap kekuasaaan penyelenggara Negara.[4]
Berkaitan dengan hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka hak bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi anggota partai politik merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin secara konstitusional, yaitu hak berserikat sebagaimana diatur dalam pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pembicaraan hak politik Pegawai Negeri Sipil dalam perpektif perlindungan hak asasi manusia, maka PNS harus dipandang dalam kedudukannya sebagai warga negara. Dalam Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan:
“Pegawai Negeri bukan saja dilihat dan diperlakukan sebagai aparatur negara tetapi juga harus dilihat dan diperlakukan sebagai warga negara, yang mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan pembinaan, hendakhya sejauh mungkin diusahakan adanya keserasian antara kepentingan dinas dengan kepentingan Pegawai Negeri sebagai perorangan, ...”[5]
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatdan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakananugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[6]
Dengan demikian hak asasi bukanlah pemberian negara atau manusia manapun, dan hak itu tetap ada meskipun negara tidak mengaturnya. Setiap warga negara tidak terkecuali mereka yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil juga memiliki seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi membawa konsekwensi berupa kewajiban negara untuk melindunginya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.

Kriteria Pembatasan HAM
Apabila kriteria pembatasan HAM tersebut dikaitkan dengan latar belakang dan tujuan kebijakan netralitas politik PNS, sesungguhnya tekanan dan mobilisasi politik oleh kekuasaan penguasa politik untuk mendukung pemenangan Golkar pada masa Orde Baru, merupakan pelanggaran hak berserikat bagi PNS sebagai warga negara, tetapi hal tersebut tidak dijadikan dasar kebijakan netralitas PNS, sehingga kebijakan yangditerapkan adalah larangan PNS menjadi anggota parpol, yang jugamerupakan bentuk pembatasan hak konstitusional PNS. Dengan demikian alasan pembatasan HAM dalam kebijakan netralitas mobilisasi politik PNS merupakan pertimbangan politis, yang jelas tidak memenuhi kriteria alasan pembatasan HAM.
Menurut Moh Mahfud MD[7], sepanjang sejarah politik di Indonesia perlindungan atas HAM menjadi persoalan. Kerapkali HAM (secara pribadi-pribadi) dilanggar dengan alasan bahwa yang dipentingkanadalah hak masyarakat sebagai satu kesatuan di bawah jargon “kepentingan umum”, sementara ukuran-ukuran kepentinagn umum itu sendiri tidak pernah jelas juga sehingga kepentingan umum menjadi identik dengan kepentingan pemerintah. Perlu disadari pula bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, dan dari pengalaman sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar prinsip konstusionalisme terutama melanggar HAM selalu bisa dibenarkan secara formal konstitusional karena diberi baju hukum berupa Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran prinsip dan konsepsi dari negara hukum menjadi negara undang-undang.[8]
Dalam negara undang-undang seperti ini ukuran-ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma etika yang tinggi, melainkan kalimat-kalimat yang pembenarannya dilakukan melalui rekayasa bagi kepentingan pemerintah.[9]
Lebih lanjut Moh Mahfud MD menyatakan, formulasi tentang perlindtmgan HAM harus menutup pintu bagi dilakukannya pembalikan dari konsepsi “kekuasaan sebagai residu HAM” menjadi “HAM sebagai residu kekuasaan” seperti yang terjadi selama ini. Ini berarti bahwa atribusi dan delegasi kewenangan kepada pemerintah untuk membuat lagi UU atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan HAM harus sangat dibatasi.[10] Oleh karena itu dalam menilai konstitusionalitas kebijakan netralitas politik PNS tidaklah cukup dari segi formalitasnya saja tetapi perlu dikaji esensi dari pengaturan tersebut.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan latar belakang kebijakan netralitas politik PNS adalah bahwa berdasarkan pengalaman sejarah utamanya pada masa Orde Baru, PNS telah dimanfaatkan oleh penguasa politik dengan memobilisir untuk mendukung pemenangan organisasi politik penguasa dalam pemilihan umum. netralitas tersebut juga kurang efektif dengan masih adanya pengaruh kepentingan politik dalam pembinaan karier PNS, karena karier PNS masih ditentukan oleh pejabat politik (Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota) sebagai pejabat pembina kepegawaian.
Ditinjau dari persepektif perlindungan HAM, kebijakan netralitas politik PNS berupa larangan PNS menjadi anggota parpol merupakan pembatasan hak konstitusional PNS dalam kedudukannya sebagai warga negara, Pembatasan tersebut secara “formalitas-prosedural” adalah sah karena selain ditetapkan dengan Undang-undang, hak berserikat tidak termasuk non-derogable rights. Tetapi untuk memenuhi asas keadilan perlu diuji apakah pembatasan tersebut telah memenuhi kriteria pembatasan berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Langkah konstitusional untuk mengoreksi Undang-undang tersebut dapat dilakukan melalui Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, maupun Legislative Review atau Political review oleh lembaga pembentuknya.

Saran
Perlu mengkaji kembali konsep netralitas politik PNS sejalan dengan konsep perlindungan HAM, dengan memutus pengaruh kepentingan politik dalam pelaksanaan manajemen kepegawaian tanpa merugikan hak konstitusional PNS.








BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagan Negara dan Pergeseran Kekuasaan DalamUUD
1945, FH UU Press, Jakarta, Cetakan I

Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, 2002, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan
UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, Jakarta:

Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta

Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur KetatanegaraanIndonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
Cetakan II Moh. Mahfud MD, 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, Cetakan II








[1] . Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
[2] . Agus Dwiyanto dkk. 2006, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gajahmada University Press, Cetakan II, hal. 194 (penelitian dilaksanakan oleh Pusat Studi Kependudukan UGM pada tahun 2000 di wilayah Provinsi Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sulawesi Selatan)
[3] . Eko Prasojo, Kompas 3 Maret 2009
[4] . Jimly Asshiddiqie, Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi pada Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia”, Selasa, 8 Juli 2008, di Jakarta.
[5] . Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentnag perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian

[6] . Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[7] . Moh. Mahfud MD, 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan II, hal. 167
[8] .  Moh Maffud MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia Di Indonesia, dalam Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Mialian, 2008, Membangun Hukum Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum) Kreasi Total media, Yogyakarta, hal. 269.
[9] . Ibid
[10] . Ibid, hal. 273

You Might Also Like

0 comments